BBC Indonesia memperoleh salinan
dokumen berlogo Badan Intelijen Negara (BIN) yang berisi informasi dan
cara menekan sejumlah aktivis Papua, mahasiswa Papua di luar Papua,
serta tokoh adat dan agama Papua yang gencar menyuarakan kemerdekaan
Papua.
Selain memuat biodata figur-figur tersebut, dokumen
berjudul ‘Rencana Aksi Gelar Opsgal Papua’ itu menjabarkan aktivitas
mereka, kekuatan dan kelemahan, metode yang digunakan untuk menekan, dan
target yang ingin dicapai.
Salah satu figur yang masuk dokumen
setebal 35 halaman itu adalah Buchtar Tabuni, Ketua Komite Nasional
Papua Barat (KNPB)—sebuah kelompok masyarakat yang berkampanye untuk
kemerdekaan Papua dan Papua Barat.
Buchtar disebut aktif menyuarakan pelanggaran HAM di Papua, mendukung pendirian International Parliamentarians for West Papua,
dan terlibat kerusuhan di LP Abepura. Kekuatan Buchtar mampu
mengerahkan massa untuk melaksanakan aksi anarkis dan pandai berorasi
dengan bahasa daerah. Kelemahannya, menurut dokumen itu: perempuan dan
minuman keras.
Untuk menekan Buchtar, dokumen itu menyebut taktik
memecah belah dan penyusupan melalui sejumlah LSM. Target minimal yang
ingin dicapai ialah KNPB mendukung otonomi khusus Papua, sedangkan
target maksimal adalah KNPB mendukung Papua menjadi bagian dari NKRI.
'Tidak kaget'
Sosok
lain yang disebut adalah Yan Christian Warinussy, selaku Direktur
Eksekutif Lembaga Penelitian Pengkajian Pengembangan dan Bantuan Hukum
(LP3BH) Manokwari. Dalam dokumen itu, Yan dilaporkan sebagai sosok yang
menyuarakan pelanggaran HAM aparat keamanan dan menuntut referendum di
Papua.
Adapun kekuatan Yan ialah dia sangat berpengaruh terhadap
generasi muda Papua dan sering berhubungan dengan aktivis separatis di
dalam dan luar negeri. Kelemahan Yan, dia sering membela terdakwa
separatis dan tergantung dengan pemerintah daerah.
Untuk menekan
Yan, ada pola persuasif dengan membantu wisata rohani ke Yerusalem.
Target minimal yang ingin dicapai dari Yan adalah dia tidak
mempermasalahkan UU Otsus Plus, sedangkan target maksimal ialah dia
mendukung UU Otsus Plus dalam kerangka NKRI.
Menanggapi dokumen, yang pada sampul bertanggal Maret 2014 dan
bertuliskan ‘Deputi II KA BIN’, Yan mengaku tidak kaget dengan laporan
intelijen mengenai dirinya.
“Saya sudah pernah, bukan hanya
dimata-matai tapi juga dibayangi. Di depan rumah saya sering ada mobil
tak dikenal, bisa parkir berjam-jam. Ada yang mengintai saja, meneror
istri dan anak-anak (dengan) menelepon lalu memberitahukan bahwa saya
kecelakaan, sengaja menjatuhkan mental istri dan anak-anak saya,” kata
Yan kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan, Kamis (04/02).
Apakah taktik itu berhasil?
“Mereka
(agen intelijen) mengintimidasi, saya sudah sadar betul. Tapi tidak
menyurutkan semangat saya untuk membela hak-hak asasi manusia dari
orang-orang di tanah Papua,” kata Yan.
Meski dokumen berlogo BIN
itu bertanggal Maret 2014, beberapa bulan sebelum Presiden Joko Widodo
memerintah, Yan yakin strategi intelijen terhadap aktivis Papua tidak
berubah.
Dia mengisahkan bagaimana ketika wartawan mewawancarainya
di sebuah hotel beberapa waktu lalu, ada dua orang yang ikut
menyorongkan alat perekam. Ketika Yan bertanya apakah mereka anggota
intelijen atau wartawan, mereka mengaku petugas intelijen dari
kepolisian dan militer.
Lalu, menurut Yan, saat komentarnya
mengenai masalah di Papua diterbitkan di surat kabar, wartawan yang
mewawancarainya akan didatangi oleh petugas intelijen untuk mendapatkan
rincian perkataan Yan.
“Yang saya lakukan selalu dipantau oleh mereka (intelijen),” ujar Yan.
Kesahihan dokumen
Kesahihan
mengenai dokumen laporan berlogo BIN yang diperoleh BBC Indonesia dari
sebuah sumber mendapat sorotan dari juru bicara kepresidenan, Johan
Budi.
“Dokumen yang beredar, yang katanya dari BIN, benar nggak
dari BIN? Harus ada klarifikasi dulu, baru kita bicara apakah ini
kebijakan BIN? Apa ini dari atas? Itu kan harus dipisahkan. Kan nggak
mungkin setiap ini perintah presiden. Itu kan didelegasikan kepada
bawahan,” kata Johan Budi.
BBC telah berupaya menelepon Kepala
BIN, Sutiyoso, namun belum mendapat respons. Pesan yang dikirim melalui
aplikasi pesan ponsel pun dibaca, tapi tidak dibalas.
Sebelumnya, kepada surat kabar Sydney Morning Herald,
Direktur Informasi BIN, Sundawan Salya, mengatakan akan meluncurkan
investigasi internal secepatnya untuk melacak sumber dokumen.
“BIN
tidak pernah mengeluarkan dokumen seperti itu. Kami adalah badan
intelijen, karena itu tidak akan pernah menggunakan dokumen terbuka,”
kata Sundawan kepada wartawan Sydney Morning Herald.
Pemantauan terhadap aktivis Papua yang gencar menyuarakan kemerdekaan Papua bukan hal baru.
Ketika
Filep Karma, seorang tahanan politik yang dihukum penjara karena
menaikkan bendera Bintang Kejora dan berbicara dalam pawai
prokemerdekaan Papua pada 2004 lalu, dibebaskan dari Penjara Abepura,
November 2015 lalu,
aparat menyatakan akan terus mengawasinya.
Strategi dialog
Cara-cara
pengawasan terhadap aktivis Papua, menurut Adriana Elisabeth yang
tergabung dalam Tim Kajian Peneliti Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) , tidak bisa lagi dilakukan
pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Kan sudah menjadi
kebijakan presiden, bahwa akan mendekati Papua dengan cara-cara yang
lebih dialogis, berbicara, berdiskusi bagaimana menyelesaikan masalah
bersama. Karena, menurut saya, itu adalah cara paling tepat untuk
menghadapi Papua,” kata Adriana.
Meski demikian, tambah Adriana,
kebijakan presiden tidak bisa diwujudkan tanpa didukung aparat keamanan
dan intelijen. Artinya, strategi dialog tidak akan berhasil apabila
intelijen tetap melakukan taktik lama.
Adriana melandasi
argumentasinya dengan menyodorkan fakta bahwa gerakan politik sipil
Papua sudah semakin solid dan diaspora Papua di luar negeri sudah
bergabung dalam Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United
Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Bahkan, perdana menteri
Kepulauan Solomon telah menawarkan menjadi fasilitator bagi dialog
antara pemerintah Indonesia dengan ULMWP.
“Perkembangan ini kan
harus dilihat bahwa arah politik Papua sudah lebih jelas. Jadi strategi
intelijen harusnya tidak bicara begitu lagi (menekan aktivis Papua),”
kata Adriana.
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah Indonesia
menegaskan kemerdekaan bagi Papua bukan opsi. Menteri Luar Negeri Retno
Marsudi telah berkata bahwa
Papua adalah bagian dari Indonesia dan pemerintah memusatkan diri pada pembangunan.
sumber. BBC.com