Jayapura, 26/8( Jubi)—Sally Morgan adalah
seorang perempuan keturunan Aborigine Australia yang lahir pada 64 tahun
lalu di Kota Perth Australia Barat. Dia menulis sebuah buku berjudul My
Place, mengaku telah kehilangan segalanya, jejak leluhurnya,kebudayaan,
adat kebiasaan, dan tanah air tempat berdiri sebagai warga.
Lebih lanjut dalam bukunya dia menulis, apakah aku tidak jujur pada
diriku sendiri? Bagaimana sebenarnya menjadi orang Aborigine itu? Aku
tak pernah hidup mengembara di belantara dan semak belukar menjadi
pemburu atau mengumpulkan makanan. Aku tak pernah ikut Corroborees atau
mendengar cerita Dreamtime. Sepanjang hidupku aku tinggal di kota dan
mengaku kepada semua orang bahwa aku orang India. Aku hampir tak punya
kenalan orang Aborigine. Apa artinya semua ini orang seperti aku.
Ia merasa yakin tanpa mengetahui sejarah dan asal usul dirinya dan
keluarganya, ia tidak akan merasa sebagai manusia yang utuh. Ia tidak
akan tahu di mana sebenarnya tanah yang pernah menjadi hak milik nenek
moyangnya.
Hari ini kapal Freedom Flotilla dari Aborigin Australia mau singgah
ke Papua untuk membawa pesan orang-orang Aborigin kepada
saudara-saudaranya di Papua tentang pengalaman pahit mereka selama
berabad-abad sebagai orang-orang yang terusir dari tanah leluhur.
Terserah orang mau bilang kedatangan mereka hanya untuk cari sensasi dan
kampanye Papua Merdeka tetapi itu bukan hal baru di Tanah Papua.
Pesan moral terpenting di sini adalah bagaimana kaum mayoritas di
tanah leluhur harus menerima kenyataan hari ini sebagai suatu suku
bangsa minoritas yang terpaksa harus hidup dari belas kasihan
pemerintahan Australia. Bekas wartawan Kompas, Ratih Hardjono pernah
menulis sebuah artikel berjudul, Mengenal Orang Aborigin, Juru Kuncinya Australia mengutip pernyataan Bulli yang bilang,“Kami tidak memerlukan uang, melainkan harga diri.”
Masalah sosial orang-orang Aborigin di Australia memang menyedihkan
terutama kaum mudanya yang berusia 20 sampai 30 tahun banyak yang keluar
masuk penjara. Perbandingan antara non Aborigin dan Aborigin yang
dipenjarakan satu berbanding dua puluh tiga. Ini artinya setiap satu
orang non Aborgine terdapat 23 orang Aborigin. Padahal mereka hanya satu
persen dari jumlah penduduk Australia sesuai sensus 2011 sebanyak 22,32
juta.
Salah satu pesan dari Kedutaan Tenda Aborigin kepada Senator Carr
telah menjelaskan bagaimana dalam 50 tahun masyarakat adat di Papua
Barat telah berubah dari 96 % populasi di Tanah Papua menjadi sekitar 50
% pada tahun 2000. Bahkan mereka menegaskan pada 2030 populasi orang
Papua akan menjadi hanya 13 % saja.
Alex Rumaseb mantan Ketua Bappeda Provinsi Papua dalam tulisannya
dalam buku berjudul Ironi Papua menyebutkan migrasi penduduk ke Papua
tidak terkendali menyebabkan banyak pendatang lebih banyak dari penduduk
asli. Hasil sensus penduduk 2010 diperoleh data perbandingan penduduk
antara pendatang dan penduduk asli di wilayah perkotaan adalah 70:30.
”Dari data jumlah penduduk yang tidak seimbang ini, nampakanya
kebijakan yang diambil pemerintah di Papua yang nota bene orang Papua
lebih banyak berpihak kepada pendatang,”tulisnya.
Data ini semakin jelas dalam sisi politik di mana beberapa pihak
menggandeng para pendatang untuk berpasangan dalam pasangan Bupati dan
Wakil Bupati. Pilihan ini tak dapat disangkal karena merebut kuota suara
terbanyak dari masyarakat tambahan alias kaum pendatang.
Pastor John Djonga juga dalam bukunya berjudul Paradoks Papua menulis
tentang komposisi penduduk di Papua. Akibat dari proses transmigrasi
dan migrasi spontan, komposisi penduduk Papua dan non Papua berubah dari
96 : 4 menjadi 49:51 pada tahun 2010.
Sementara itu tingkat pertumbuhan penduduk menurut Pastor Djonga
tingkat pertumbuhan penduduk asli Papua hanya 1,84 %, tingkat
pertumbuhan penduduk non Papua dalah 10,82 %. Hal ini menyebabkan orang
Papua dalam tiga dekade saja menjadi minoritas di tanah mereka sendiri.
Dari total penduduk Papua pada 2010 sebanyak 3,612.854 orang asli Papua
hanya terdiri dari 1,760.557 juta atau hanya 48,73 % saja.
Berdasarkan angka-angka di atas Pastor John Djonga peraih penghargaan
Hak Asasi Manusia(HAM) Yap Thiap Ham memprediksi pada 2020, orang asli
Papua akan menjadi hanya 28,00 % dari penduduk Papua. Dari tahun ke
tahun presentasi itu akan semakin kecil, tak heran kalau tenda Aborigin
menegaskan pada 2030 hanya 13 % saja.
Apalagi menurut Rumaseb dalam bukunya berjudul Ironi Papua, sifat
orang Papua yang kebanyakan santai karena bergantung dengan alam yang
telah memanjakan mereka selama berabad-abad sehingga kalah dalam
bersaing dengan para pendatang dari sisi ekonomi.
”Mereka tersisih dinegerinya,”tulis Rumaseb seraya mempertegas dalam
bukunya antara lain, situasi ini jelas menimbulkan kecemburuan sosial
dan tak usah heran kalau pemalangan bisa terjadi terhadap beberapa
pembangunan fisik karena menuntut ganti rugi ulayat dengan permintaan
sejumlah dana yang nominalnya sangat tinggi.
(Jubi/Dominggus A Mampioper
(Jubi/Dominggus A Mampioper